Iwan Gayo: Penjaga Pengetahuan di Zaman Sebelum Internet

DRC
10 November 2025, 02.05 WIB Last Updated 2025-11-09T19:05:14Z

 

Oleh: Yoseph Heriyanto


denyutrakyat, CERITA -- Di negeri ini, nama pahlawan sering diukur dari seragam dan senjata. Padahal, ada banyak orang yang berjuang tanpa peluru, namun meninggalkan bekas panjang dalam kehidupan kita. Salah satunya adalah H. Iwan Abu Bakar, atau yang lebih dikenal sebagai Iwan Gayo — penulis asal Takengon, Aceh Tengah, yang lahir tahun 1951 dan wafat pada 2024. Ia bekerja di ruang sepi, menyusun data dan pengetahuan menjadi buku yang hampir setiap rumah punya di masanya: Buku Pintar Seri Senior.


Sebelum dunia mengenal Google, nama Iwan Gayo sudah akrab di meja guru, di perpustakaan sekolah, dan di rak buku orang-orang yang haus pengetahuan. Karyanya menjadi semacam ensiklopedia rakyat — praktis, padat, dan bisa diandalkan. Orang membuka halamannya untuk mencari arti sebuah istilah, tahun terjadinya peristiwa, atau sekadar mengenali siapa tokoh yang pernah memimpin negeri ini. Dalam hal itu, Iwan Gayo bukan cuma penulis, tapi penyusun ingatan bangsa.


Dari Takengon ke Meja Pembaca

Iwan Gayo lahir dan besar di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Dari sana, ia menempuh jalan panjang sebagai jurnalis dan penulis. Tak banyak yang mencatat detail hidupnya, tapi jelas ia bukan datang dari kemewahan. Ia tumbuh di masa ketika menulis berarti bekerja dengan tangan, mengetik di mesin yang berisik, dan mencari data lewat buku — bukan lewat mesin pencari.

Dari kerja yang tekun itulah lahir buku-buku yang kini jadi bagian dari sejarah literasi Indonesia: Buku Pintar Seri Senior, Ensiklopedi Tokoh Indonesia, Almanak Negara, dan banyak lainnya. Ia bukan sekadar menulis, tapi menghimpun fakta — menyusunnya agar mudah dicerna dan menjadikannya alat belajar bersama.


Pahlawan Tanpa Seragam

Kalau kata “pahlawan” kita perluas, Iwan Gayo pantas duduk di sana. Ia berjuang di jalur sunyi: melawan ketidaktahuan dan kebingungan publik lewat pengetahuan yang rapi dan dapat dipercaya. Ia tak perlu pangkat atau penghargaan. Ia cukup tahu bahwa setiap halaman yang ditulisnya adalah bagian dari kerja mencerdaskan bangsa — pekerjaan yang terus ia lakukan tanpa banyak bicara.


Kita jarang menghargai kerja-kerja seperti itu. Padahal, tanpa orang seperti Iwan Gayo, banyak dari kita mungkin tak pernah tahu hal-hal dasar tentang negeri sendiri. Di masa sekarang, saat informasi datang dari mana saja dan sering menyesatkan, warisan Iwan Gayo terasa makin berharga: kejujuran dalam data, disiplin dalam menulis, dan tanggung jawab pada kebenaran.

H. Iwan Abu Bakar Alias Iwan Gayo

Membaca Ulang Arti Perjuangan

Hari Pahlawan seharusnya bukan cuma tentang mereka yang berperang, tapi juga tentang mereka yang bertahan menjaga akal sehat bangsa. Iwan Gayo mengajarkan bahwa perjuangan bisa dilakukan dengan mengetik, membaca, dan menyusun. Ia menulis agar orang lain bisa belajar. Ia bekerja agar bangsa ini tak buta terhadap dirinya sendiri.


Dalam arti itu, Iwan Gayo adalah pahlawan literasi — sosok yang menjaga pengetahuan tetap hidup di tengah keterbatasan. Ia mungkin tidak punya patung atau nama jalan, tapi ia punya warisan yang tak bisa dihapus: kebiasaan berpikir.


Penutup

Kini, saat orang dengan mudah menyalin, menempel, dan menyebar informasi tanpa saring, nama Iwan Gayo kembali relevan. Ia menunjukkan bahwa menulis bukan sekadar menumpuk kata, tapi merawat makna.


Dari buku-bukunya, saya mengenal nama-nama negara, berapa luasnya, seperti apa benderanya, dan mata uangnya apa. Selain itu, juga menambah pengetahuan geografi saya tentang gunung tertinggi dan sungai terpanjang di dunia. Ah... semua itu masih lekat dalam ingatan.


Membaca Iwan Gayo membuat rindu masa lalu. Sruput kopi dulu.


Catatan Redaksi :

H. Iwan Abu Bakar atau Iwan Gayo (7 November 1951 – 28 Desember 2024), adalah wartawan, editor, dan penulis buku yang berasal dari Indonesia. 

Ia mengumpulkan berbagai pengetahuan umum dan telah menerbitkan beberapa buku seperti Buku Pintar, Seri Junior, Buku Pintar, Seri Senior, Buku Pintar, Haji dan Umrah, serta Encyclopedia Islam International. 

Kemudian banyak yang terinspirasi atas karyanya, sehingga banyak buku-buku pintar lain yang diterbitkan oleh berbagai pihak yang menggunakan istilah "buku pintar" sebagai sinonim dengan ensiklopedia atau kamus.

Komentar

Tampilkan

  • Iwan Gayo: Penjaga Pengetahuan di Zaman Sebelum Internet
  • 0

Wikipedia

Hasil penelusuran