![]() |
| Foto: Walikota Bandar Lampung, Hj. Eva Dwiana. (Kanan): Junaidi Farhan Aktivis LSM InfoSOS Indonesia. |
BANDAR LAMPUNG, DENYUTrakyat.com - Entah strategi apa yang digunakan Walikota Bandar Lampung, Hj. Eva Dwiana dalam pengelolaan anggaran keuangan daerah. Sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, walikota memiliki kewenangan utama dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kewenangan utama dalam mengelola APBD Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana selaku walikota dianggap beberapa kalangan agak janggal bahkan Junaidi Farhan dari LSM InfoSOS Indonesia mempertanyakan logika dan strategi apa yang digunakan sang walikota.
"Akal kita gak sampai, logika dan strategi apa yang digunakan bunda Eva, satu sisi menghambur-hamburkan anggaran untuk hibah, sementara sisi yang lain Pemkot sedang mengajukan hutang ke SMI," kata Farhan di Bandar Lampung, Jum'at (14/11)
Diketahui dalam beberapa waktu ini Pemkot Bandar Lampung memberikan hibah yang cukup fantastis yaitu kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung Rp60 miliar, kepada Polresta Bandar Lampung Rp24,6 miliar, Kepada UIN Radin Intan Rp5 miliar, serta untuk hibah bansos mencapai Rp26,2 miliar. Sehingga Totalnya mencapai Rp115,8 miliar.
Sementara itu disisi lain, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung sedang mengajukan pinjaman sebesar Rp227 miliar kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Pinjaman ini akan digunakan untuk pembiayaan proyek pembangunan infrastruktur di Kota Bandar Lampung.
Rencana ini terungkap dalam Rapat Paripurna DPRD Kota Bandar Lampung, Rabu (5/11) lalu, saat penyampaian pendapat fraksi-fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD Tahun Anggaran 2026.
Menurut Junaidi Farhan bahwa pengeluaran untuk hibah besar menunjukkan prioritas yang salah dari pemerintah kota.
"Jika ada kebutuhan untuk meminjam uang demi pembangunan infrastruktur atau pemulihan ekonomi, maka uang hibah tersebut seharusnya digunakan untuk mengurangi jumlah pinjaman atau dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih mendesak," paparnya dalam diskusi Ngopi Pai.
Diakhir pembicaraannya Direktur Eksekutif LSM InfoSOS Indonesia ini mengatakan, "Publik dapat melihat kebijakan ini sebagai pemborosan atau pencitraan, terutama jika masyarakat dihadapkan pada masalah layanan publik yang belum terselesaikan. Kesan tersebut dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kota," pungkasnya (Byu*)


